Bakso Manyun

Bakso Manyun

 Cerpen | IndiHome | Aktivitas Tanpa Batas | #IndiHomenulis

Ting-Ting-Ting-Ting-Ting!

“Mang! Mang Toto!” teriak Lisa melambai-lambaikan tangan.

Tak lama kemudian. “Biasa ya, Mang. Yang gede satu, yang kecil-kecil empat. Dibening. Oya, jangan lupa, nggak pake micin. Lada ya, Mang.” Lisa pun kembali tergopoh-gopoh masuk ke dalam rumah. Ia langsung menyetrika baju seragamnya yang belum selesai. Bawahan abu-abu dan atasan putih. Di sebelahnya, berdiri sebotol produk “3 in 1” yang berfungsi sebagai pengharum, pelicin, dan sekaligus pelembut yang sesekali disemprotkan. Dan hasilnya … sungguh-sungguh licin dan wangi, persis seperti yang diiklankan.

Ketika mendengar Mang Toto membenturkan sendok ke mangkok, Lisa kembali keluar. Menjemput semangkok bakso impiannya yang sudah selesai. “Ladanya dua sendok kan, Mang?” tanyanya menerima semangkok bakso dari Mang Toto yang langsung mengangguk. Sambil berjalan, Lisa mengaduk dan sesekali menyicipinya untuk memastikan rasanya sudah memenuhi persyaratan. Satu butir bakso urat besar dan 4 butir bakso kecil. Air liurnya sudah ingin keluar dan menetes, namun segera ditelannya. Ia pun mencicipi sebutir bakso kecil dan menyeruput sesendok kuahnya. Ah, sungguh nikmat. Lisa menginginkannya lagi, tapi segera ditahan. Pekerjaan menyetrika seragamnya belum selesai. Dengan sedikit sabar, ia meletakkan mangkok bakso itu di atas meja makan dan segera menyelesaikan setrikaannya.

Jam sudah menunjukkan angka 11.30 dan ia harus segera tiba di sekolah pada pukul 12.30 tepat, sedangkan perjalanannya dari rumah ke sekolah rata-rata sekira 30 menit. Jadi, waktu yang tersisa untuk menyetrika, makan bakso, dan mandi hanya tersisa 30 menit lagi. Untung saja Lisa lagi “M”, sehingga ia bisa lebih cepat lagi karena tidak perlu shalat Zhuhur. Kembali ia menyemprotkan produk “3 in 1” ke seragam bawahannya. Setelah beberapa balikan menyetrika, ia pun telah selesai. Rok abu-abu itu segera diletakkan begitu saja di atas tempat tidurnya. Kini tinggal atasan putihnya.

“Ica…! Ini bakso siapa?” teriak Mama dari arah dapur. “Punya Ica, Ma,” jawab Lisa cemas. “Mama minta, ya!” Deg. Benar dugaannya. “Iy… iyya, Ma. Tapi jangan yang gede.” Lisa pun segera mempercepat pekerjaannya. “Yaa…, udah terlanjur. Tapi cuma sepotong, kok. Enak, Ca. Bakso Mang Toto, ya?”

Lisa menghentikan pekerjaannya yang memang sudah selesai, dan segera berlari ke dapur. “Yaaa, Mama…,” ujarnya sedih bercampur kesal. Melihat bakso uratnya telah menggeroak setengah, lebih sedikit. Sebutir bakso kecilnya pun telah lenyap. Tanpa sadar, mulutnya mengerucut. Manyun.

“Cuma sepotong, Sayang,” hibur Mamanya.

Lisa berteriak kesal, lalu berbalik dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Tak berapa lama, suara air yang diguyurkannya terdengar cepat. Kadang-kadang, suara air dan diamnya tidak seperti yang biasa Mama dengar. Dan ketika melihat Lisa sudah keluar, Mama mencoba menghampirinya. “Ica…,” panggil Mama lembut. Tetapi … BRAK! Lisa langsung menutup pintu kamar dan menguncinya.

“Ica…,” sahut Mama mengetuk pintu. “Jangan marah, dong. Mama kan cuma makan sepotong.” “Bodo!”

“Ayo dong, sayang. Maafin Mama, ya?” Lisa merengut. Ketika mencoba mengaitkan bawahannya, ia memukul-mukulkan kakinya ke lantai. Ia kembali kesal. Perutnya terlalu gendut. “Ica….”

“Waa…!” Mama mengetuk pintu lagi. “Mama beliin lagi, ya.”

Tanpa sadar Lisa telah memasang muka berlipat. Ia melihat jam dindingnya, sudah pukul 12.00. Hatinya bertambah kesal. Rupanya ia terlalu lama di dalam kamar mandi tadi. Akhirnya ia berhasil mengaitkan bawahannya, meresletingkannya, lalu merapikan seragamnya di depan cermin. Seadanya saja. Begitu pula dengan dandanannya yang hanya menggunakan deodorant roll-on. Tanpa make-up. Lisa membuka pintu kamarnya dengan segera. Dengan langkah-langkah cepat dan napas yang memburu, ia pun segera memakai sepatunya.

“Nih, Ca. Mama beliin lagi baksonya,” ujar Mama masuk memperlihatkan semangkok bakso baru. Lisa melirik ke arah mangkok bakso yang masih di atas meja makan. Tampaknya ia tak peduli, dan mulutnya pun masih manyun. Setelah selesai memakai sepatunya, ia berdiri dan langsung berjalan ke luar. “Ica, makan dulu baksonya.”

“Ica sudah terlambat, Ma.”

“Ica…, maafin Mama, dong.”

“Assalamu’alaikum.” Mama menggeleng dan mengelus dadanya, lalu mendesiskan jawaban salam. “Hati-hati ya, Ca!”

Lisa tetap manyun. Langkahnya cepat dan tergesa. Ia kesal berat. Terlebih, matahari terlalu garang memancarkan cahayanya yang sangat terik. Ia merutuk dalam hati. Napasnya memburu. Di pinggir jalan, seorang pemuda telah berteduh di bawah pohon. Rambutnya gondrong dan awut-awutan. Ia bercelana jeans biru belel, tetapi sudah bolong di sini-sana dan bergambar monster. Pakaiannya kemeja lusuh, tidak dikancing, juga berkaos. Alas kakinya hanyalah sandal jepit yang sudah aus dan agak hitam, tetapi bukan warna aslinya. Pemuda itu mencoba tersenyum. Lisa bertambah sebal dan membuang mukanya. Ia berharap angkot segera tiba. Tidak terlalu lama kemudian, angkot putih jurusan Dago-Riung berhenti. Lisa naik. Dan tanpa diduganya, pemuda itu juga ikut naik.

Kenapa hal ini harus terjadi terhadapku, rutuk hatinya. Perutnya bergejolak. Lisa meradang karena perutnya belum diisi. Tenggorokannya terasa kering. Entah, sudah lari kemana air liur yang tadinya memenuhi rongga mulutnya saat ia menatap semangkok bakso. Kesal. Ingin rasanya ia memukul sesuatu. Atau berteriak lepas sekeras-kerasnya. Atau juga berlari sekencang-kencangnya. Dan mulutnya masih maju dua sentimeter.

Pemuda tadi telah duduk di hadapannya. Tidak ada penumpang lain selain mereka berdua. Pemuda itu bermesem-mesem, mencoba tersenyum padanya. Ihh! Lisa segera membuang mukanya, lalu menggeser badannya tepat di dekat pintu keluar. Angkot tetap melaju. Nggak ngaca apa? rutuk hatinya kesal. Kalau mau senyum, ngaca dulu dong. Lihat baik-baik, wajah situ pantas nggak buat senyum-senyum. Muka penuh jerawat gitu, kok. Item lagi.

Sampai di Pasar Simpang, suasana lalu-lintas sedikit macet. Lisa mendengus kesal. Untung saja seorang laki-laki—tampaknya mahasiswa—segera naik dan duduk di belakang sopir. Sejajar dengan pemuda yang bersandal jepit hitam. Hanya untuk memastikan, ekor matanya melirik lagi ke pemuda itu. Dari atas ke bawah. Beruntung, pemuda itu sedang menengok ke belakang. Celana apaan tuh? Kayak nggak punya modal aja. Celana bagus-bagus dibolongin. Digambar-gambarin. Kere. Mending kalau gambarnya bagus. Lisa melirik ke bawah. Apalagi sendalnya. Sudah pantas untuk dimusiumkan. Di tong sampah! Tiba-tiba pemuda itu memalingkan wajahnya ke arah Lisa. Secepat kilat Lisa segera membuang mukanya lagi. Sekilas ia tadi melihat kalau pemuda itu tersenyum lagi.

Tiba di Kampus UNPAD, mahasiswa yang duduk di belakang sopir turun. Kini, tinggal Lisa dan pemuda bersandal jepit hitam itu lagi. Angkot pun melaju cepat. Yang kadang-kadang ngetem pada beberapa tempat. Tetapi tidak ada penumpang yang naik.

“Mau ke mana, Neng?” sapa pemuda itu tiba-tiba, mengejutkan Lisa. Lisa memenyongkan mulutnya. Ih, nanya-nanya segala. Emang situ siapa? Gue bilang juga ngaca dulu dong, Mas. Amit-amit deh kenalan sama situ. Perutnya bergejolak lagi. Lisa menekan perutnya, dan kembali mengesalkan mamanya.

“Sakit ya, perutnya?”

Hhh! Nggak tau apa kalau perut gue lagi laper begini. Sok bersimpati. Mana bajunya nggak modis. Pake kemeja kok nggak dikancing. Mending kalau kaosnya bagus. Udah kumel, dekil lagi. Makanya, jadi manusia itu punya harga diri, Mas. Alas kaki dihargain. Celana dihargain. Baju juga dihargain. Jangan seenak udelnya sendiri. Mengganggu pemandangan. Angkot terus melaju. Rambut juga, tuh. Disisir, kek. Atau kalau nggak, dipotong yang rapi, biar nggak kayak gelandangan. Mukanya juga pasti nggak pernah dibersihin, jadinya, jerawatan kayak gitu. Pake pelembab, dong. Dirawat.

Lisa melihat ke arah mana angkot putih itu melaju. Tetapi sesaat kemudian, ekor mata Lisa mencoba melirik lagi ke arah pemuda itu, tapi sialnya ternyata pemuda itu juga sedang melihatnya juga. Pemuda itu mencoba tersenyum. Hhh! rutuk hati Lisa bertambah kesal. Ia membuang muka lagi dan kembali menatap ke arah jalan. Sesekali Lisa melihat jam tangannya. Kakinya tak sadar bergerak-gerak. Cepet, dong jalannya, rutuknya kesal. Angkot putih itu membelok di dekat PUSDAI, mengetem sebentar, lalu melanjutkan perjalanannya kembali. Tempat tujuannya telah hampir tiba. Sekali lagi Lisa mencoba melirik ke arah pemuda itu. Sebel!

Kemudian ia membuka tasnya dan merogoh-rogoh. Lisa bengong. Ia mencoba menenangkan diri dan mencoba mencari. Tidak ada! Lisa cemas dan terus merogoh-rogoh. Semua sudut lipatan tas diperiksanya. Kantong-kantong bawahan dan bajunya juga diperiksa. Namun ia masih cemas: mengetahui kalau dompetnya tidak ada! Bahkan, ia tidak membawa uang sepeser pun!

Keringat dingin mulai menjalari tubuhnya. Lisa mencoba merogoh-rogoh lagi tas dan pakaiannya. Tetap tidak ada. Ia cemas. Kepalanya celingukan, memikirkan cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini. Apakah harus bilang terus terang pada sopir, ‘Maaf, Pak. Dompet saya ketinggalan dan saya tidak membawa uang sepeser pun.’ Mending kalau sopirnya pengertian, kalau tidak? Sopirnya mungkin malah berteriak, ‘Jangan boong lu! Nggak tau apa kalo setoran gue masih kurang. Jangan mentang-mentang lu cewek, gue bakal baik ama lu.’ Hii…, mending kagak usah deh. Atau…. Lisa kemudian memandang ke arah pemuda di hadapannya, yang kebetulan sedang menoleh ke belakang. Ragu ia menentukan pilihannya. Bagaimana, ya? Namun akhirnya….

“Maaf, Mas,” sapanya hati-hati. Masih ragu-ragu dan cemas. Pemuda itu menoleh, lalu kembali tersenyum, “Ada apa, Neng?” Lisa gelisah. “Dompet saya ketinggalan…, dan saya … tidak membawa uang.”

Pemuda itu mengernyit. “Maaf…,” Lisa merasa bersalah, “kalau boleh…, ngg….” Pemuda itu menunggu. Lisa mencoba mengumpulkan keberaniannya. “Kalau boleh…, saya….” Ia ragu-ragu dan mau mengurungkan niatnya. Ekor matanya melirik pemuda itu. Ia merasa bersalah. Ayo, Ca!

Dan akhirnya, “Kalau boleh saya mau pinjam uang.” Cepat dan tidak mau diulangnya lagi. Ia berharap. Pemuda itu langsung mengerti. Ia langsung merogoh saku celananya, “Memang Neng sekolahnya di mana?”

“Di situ, SMU Nusantara,” tunjuk Lisa ke depan. “Segini cukup,” sodor pemuda itu selembar uang lima ribuan. Lisa mengangguk dan menerimanya, “Terima kasih.” Ia pun makin tambah bersalah. Ia ragu dan jantungnya berdebur sangat cepat. “Maaf, ya.”

“Tidak apa-apa. Saya ikhlas, kok.”

“Bukan….” Pemuda itu mengerutkan keningnya. Lisa menggeleng. “Tidak…, tidak apa-apa.” Ia menoleh ke depan. “Kiri! Kiri, Pak!” teriaknya cepat. Angkot berhenti tepat di depan sekolahnya. Lisa beranjak bangun, “Terima kasih ya, Mas.”

Pemuda itu mengangguk.

Lisa kemudian turun dan menyerahkan uang lima ribu rupiah itu pada sopir angkot. Sopir angkot itu tersenyum dan menoleh ke belakang, tepatnya ke arah penumpangnya yang tinggal seorang pemuda. Pemuda itu pun juga tersenyum. Dan angkot itu kembali bergerak, meninggalkan Lisa yang masih mematung.
Lisa menatap kepergian angkot itu. Terima kasih, bisik hatinya lirih. Kemudian ia melangkahkan kakinya secara perlahan memasuki pekarangan sekolah. Beberapa rekannya berjalan sambil bercanda. Tertawa-tawa. Tapi ia sendiri gontai. Perasaannya berkecamuk. Merasa bersalah. Merasa berdosa.

Mulutnya manyun. Ia mencoba tersenyum pada beberapa rekannya yang ia jumpai. Ber-say hello sebentar. Kemudian manyun lagi. Tiba di ruangan kelasnya, ia langsung duduk pada sebuah kursi. Badannya lemas. Hatinya kesal. Serba salah.

“Tunununut! Tunununut!” Lisa merogoh tasnya, lalu melihat layar HP-nya yang menyala biru. “Tunununut!”

“Halo,” sahutnya lemas menjawab telepon.

“Ica, dompetmu ketinggalan, ya? Ini…, Mama temuin di mejamu. Nanti Mama anterin deh ke sekolah. Sekalian Mama bawain bakso urat Mang Toto. Ica sudah nggak marah lagi, kan? Halo! Ica, maafin Mama ya? Halo! Halo!”[]

Bandung 29.06.23

Post a Comment

0 Comments