Relawan Kesehatan, dari Bandung untuk Indonesia

Menjalani 'social enterprise' itu sejatinya kita sedang memilih jalan bertumbuh bersama, menjadi kuat dengan menguatkan, semakin maju dengan mendorong kemajuan pada sesama ~ dr. Dani Ferdian, M.K.M.,Sp. KKLP. (Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran)

1998. Saya terlibat dalam kegiatan Farmasi Pedesaan (Fardes). Ini mirip dengan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tetapi hanya dilakukan oleh mahasiswa jurusan Farmasi di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Lokasinya sendiri di beberapa desa yang terletak di seberang Waduk Jatiluhur, dan saya ditempatkan di Desa Palilinggihan. Lokasi desa tersebut terbilang sulit dijangkau.

Ada jalan darat, tetapi harus melewati jalan berbatu yang medannya tidak mulus dan jaraknya begitu jauh. Paling mudah dan nyaman adalah menggunakan transportasi perahu yang disebut bargas, melewati Waduk Jatiluhur selama satu jam lebih. Belum ada listrik, tetapi tiap rumah sudah memanfaatkan satu lampu 5 watt yang sumber listriknya diambil dari pembangkit kecil yang memanfaatkan aliran sungai.

Kalau pun ada rumah warga yang terang, biasanya dibarengi dengan suara genset yang menderu. Sosok itu sendiri tinggal di salah satu rumah warga yang memiliki televisi tetapi tidak pernah dinyalakan. Fasilitas MCK juga menyebar di setiap sudut tersembunyi, hingga para mahasiswa Fardes pun berinisiatif untuk membuat MCK sebelum diberangkat ke sana dan tinggal selama satu minggu.

Sampai kemudian ada istilah di kalangan mahasiswa, kalau ingin buang air besar maka pergilah ke kebun atau belakang rumah sambil membawa sarung, pacul, dan dahan pisang yang sudah dihilangkan daunnya. Pacul digunakan untuk menggali tanah, sarung untuk menutupi tubuh, dan dahan pisang digunakan sebagai pecut/cambuk kalau ada binatang yang menghampiri. Ngeri, kan?

Volunteer Doctors

Minimnya Pengetahuan Kesehatan

Salah satu peristiwa yang masih diingat adalah saat malam hari. Para mahasiswa biasa mengobrol dengan beberapa warga di salah satu teras rumah yang rata-rata dibuat seperti rumah panggung. Di tengah obrolan biasanya diiringi dengan suara semacam binatang malam di kejauhan. Penasaran, salah satu mahasiswa bertanya, "Suara apa itu ya, Pak?" Warga yang asyik merokok pun menjawab datar, "Paling oge Kunti."

Lain waktu, saya pernah berlari menembus kegelapan malam. Hanya ditemani suara malam. Hewan-hewan yang entah, dan gemeretak batang bambu atau pergesekan daun yang diembus angin. Suara tapak-tapak kaki bergerak dengan cepat, menuju sebuah rumah gubuk. “Ada anak kecil yang step!” Begitu jelas seorang kawan bercerita, awalnya. Langkah kakinya semakin dipercepat. Suara tangisan terdengar makin jelas.

Saat masuk ke dalam gubuk tersebut, saya langsung menempelkan tangannya ke dahi sang anak. Benar, panas tinggi. Tangisannya kadang terhenti hanya untuk menggeremetakkan gigi. “Ada apa aja?” Kawan-kawan satu profesi segera memeriksa persediaan obat. “Hanya tablet parasetamol!” Harus berpikir cepat. Tak lama, diambilnya satu parasetamol lalu membaginya menjadi empat bagian.

Tidak ingat lagi apakah ini berdasarkan Rumus Fried atau Rumus Clark dalam menghitung dosis obat. Semua dihitung berdasarkan pengalaman saja. Seperempat bagian tablet langsung digerus dengan cara menggunakan dua sendok. Tidak ada mortar. Setelah jadi bubuk halus, langsung dilarutkan dengan air. Obat tersebut langsung diminumkan pada sang anak. Paling tidak ini pertolongan pertama agar panasnya bisa turun. Bismillah.

Tanpa menunggu satu jam, panas anak tersebut berangsur-angsur menurun. Ada kelegaan yang terpancar dari semua mahasiswa. Anak itu pun tidak rewel lagi dan bisa tidur dengan lelap. Sang ibu kemudian dianjurkan agar membawa anaknya ke dokter atau bidan terdekat keesokan harinya. Di desa, kadang tidak ada dokter. Hanya bidan desa yang fungsi kerjanya bisa menyamai dokter, sedangkan pengetahuan warga desa akan kesehatan sangatlah minim.

Masalah kesehatan di Indonesia memang masih menyimpan banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi. Dari persoalan gizi buruk balita hingga angka kematian ibu yang masih tinggi adalah dua dari banyak persoalan kesehatan yang harus diselesaikan. Tak hanya itu, berbagai persoalan kesehatan lain, seperti kebersihan lingkungan, penyakit menular dan tidak menular, masih menghantui masyarakat.

“Karena itu, perlu ada campur tangan semua lapisan masyarakat, terutama para calon dokter maupun tenaga kesehatan lain. Sebab, semua persoalan itu tidak akan terselesaikan bila hanya mengharapkan pemerintah,” kata dr. Dani. Kondisi inilah yang menginspirasinya untuk mengajak teman-temannya sesama mahasiswa di Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Bandung, membentuk lembaga bernama Volunteer Doctors (Vol-D).

Berawal dari Bandung, lembaga yang bergerak di bidang kerelawanan medis ini mulai menyebar ke Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Misi Vol-D itu bersifat holistik atau menyeluruh. Tak hanya mengobati atau menangani fisik saja, tetapi juga berperan mengubah pola pikir masyarakat agar mengutamakan kesehatan. Tanggap bencana, bantuan medis, pemeriksaan kesehatan gratis, kunjungan sosial, donor darah, pemeriksaan laboratorium, serta pengembangan komunitas adalah beberapa hal yang mereka kerjakan.

Volunteer Doctors

Pelopor Relawan Kesehatan

Vol-D itu semacam sekolah nurani tenaga kesehatan sehingga memiliki keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan lembaga sosial lainnya. Vol-D itu membangun karakter para calon dokter dan tenaga kesehatan. Mereka menggembleng para mahasiswa untuk mendapatkan berbagai program pembinaan lewat diklat materi. Tujuannya, agar mereka di kemudian hari bisa membuat perubahan nyata, khususnya perubahan dengan mengabdi langsung kepada masyarakat. Mereka diharapkan memiliki jiwa sosial dan kepekaan yang lebih tinggi lagi.

Tidak mudah bagi dr. Dani untuk mewujudkannya, tetapi sedikit demi sedikit ia pun berhasil membawa Vol-D menjangkau seluruh pelosok negeri lewat kemitraan dengan 30 lembaga. Sampai saat ini sudah ada sekitar 1000 dokter dan tenaga kesehatan yang tergabung di Vol-D. Makin banyaknya mahasiswa lintas fakultas dan kampus yang tergabung di Vol-D, ia optimistis Indonesia Sehat di masa datang akan tercapai.

Aktivitas Vol-D tak terbatas untuk masyarakat ekonomi rendah saja, tetapi juga bagi mereka yang mapan secara ekonomi. Semua kegiatan diperuntukkan bagi semua usia, mulai dari anak-anak hingga lanjut usia (lansia). Masyarakat daerah terpencil atau tinggal di wilayah kumuh perkotaan juga menjadi sasaran utama mereka. “Menjangkau sebanyak mungkin masyarakat, itulah misi besar kami,” kata dr. Dani tegas.

Di awal perjuangan, dana menjadi kendala. Saat Vol-D baru terbentuk, gempa bumi melanda Garut dan Pengalengan. Ia pun menawarkan diri kepada Korps Relawan Salman ITB untuk terlibat dalam tanggap darurat bencana. Tidak mungkin untuk melakukan misi secara mandiri. “Awal-awal, uang jajan saya korbankan, terkadang uang untuk membeli buku pun saya gunakan untuk kebutuhan aksi,” katanya.

Hingga kemudian Vol-D pun mengumpulkan dana dengan membuka layanan pemeriksaan tekanan darah dan gula darah, serta laboratorium sederhana dengan harga terjangkau di area car free day di Kota Bandung. Ia bersyukur lembaga ini makin berkembang dan bisa mendirikan sebuah poliklinik di Perumahan Bumi Abdi Negara, Rancaekek, Bandung, yang juga berfungsi sebagai kantor sekretariat Vol-D.

Dana pembangunan poliklinik yang dilengkapi dengan klinik umum, klinik gigi, dan apotek itu berasal dari hadiah penghargaan yang diterima dr. Dani dari Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards pada 2015 di bidang kesehatan. “Tapi, saya juga harus meminjam sejumlah uang kepada keluarga untuk menambah biaya pembangunan,” katanya.

Volunteer Doctors

Vol-D Pun Makin Dikenal

Strategi lain yang mereka gunakan adalah menjalin kerja sama dengan perusahaan swasta dari dana CSR. Atas aktivitas Vol-D inilah, Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten Bandung pun memberikan sejumlah dana untuk kebutuhan aksi sosial di daerah terpencil. “Menurut mereka, selain memberi manfaat kepada masyarakat, gerakan yang kami lakukan juga akan menggerakkan jiwa sosial pemuda,” ujarnya.

Vol-D juga menjalin kerja sama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung yang bertujuan untuk meningkatkan minat lulusan SMA untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. “Kami juga melakukan sosialisasi tentang pentingnya mengonsumsi makanan bergizi. Bila mendapat asupan gizi yang cukup, mereka akan fokus belajar, sehingga mendapat nilai akademis yang baik,” katanya, senang.

Vol-D terus berkembang dan kemudian membangun jaringan ke berbagai kampus, baik untuk keanggotaan maupun kerja sama dalam menjalankan misi, seperti Universitas Indonesia, Universitas Trisakti, Institut Pertanian Bogor, Universitas Jendral Achmad Yani Bandung, Universitas Moestopo Jakarta, dan Universitas Pancasila Jakarta. “Vol-D dipercaya oleh beberapa kampus untuk melakukan screening kesehatan calon mahasiswa baru,” katanya.

Antusiasme untuk menjadi anggota Vol-D pun sangat tinggi. Tiap kali buka rekrutmen, pendaftar mencapai 500 orang. Seleksi pun diperketat berupa pelatihan dan pendidikan dasar selama 6 bulan - 1 tahun. “Pelatihan dan pendidikan yang kami berikan antara lain kemampuan medis dasar, soft skill, komunikasi, kepemimpinan, dan etika kerelawanan,” kata dr. Dani yang sudah menerima penghargaan dari ASEAN Youth Award serta Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Ia mengakui, Vol-D mendapatkan inspirasi dari MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) Indonesia yang telah diakui hingga ke luar negeri. “Saya kagum pada dr. Joserizal Jurnalis. Sebagai seorang dokter ahli ortopedi, ia mampu mendirikan lembaga kemanusiaan yang mampu menembus mancanegara,” katanya bahagia. Meski begitu, ada juga rekan seprofesinya yang menyalahartikan bahwa gara-gara Vol-D, profesi dokter dianggap sebagai relawan.

Apa yang dilakukan Vol-D hanyalah sebuah gerakan untuk membangkitkan semangat berbagi. Profesi dokter tetap berhak mendapatkan bayaran dari pasien, tetapi tidak ada salahnya juga mereka mengalokasikan sebagian uang atau keahlian mereka kepada orang-orang yang benar-benar membutuhkan uluran tangan. “Saya berharap rekan-rekan saya, baik dokter umum maupun spesialis, memiliki kepekaan bahwa di balik pasien yang mampu, ada juga pasien yang tidak mampu,” tuturnya.[]

Post a Comment

0 Comments