Memilih Tempat Bersekolah/Beraktivitas

Kampus ITB Bandung

Dulu ... sosok itu bersekolah di SD Negeri berkategori sekolah teladan, lanjut ke SMP Negeri yang terkenal sering tawuran. SMA-nya masih berstatus negeri tetapi tidak terlalu berprestasi di bidang akademis. Padahal kalau mau mengasah prestasi, dia bisa ke SMP Negeri favorit, lanjut ke SMA Negeri favorit. Sangat bisa. Kemampuan dan peluang dari guru sudah menjaminnya.

Alhamdulillah di kemudian hari dia bersyukur bisa berkuliah di kampus favorit, bertemu dengan kawan-kawan yang berasal dari SMP favorit yang ditawarkan guru SD, dan bersahabat dengan alumni SMA favorit yang juga pernah ditawarkan oleh guru SMP. Lalu ketika diputuskan untuk mengundurkan diri dari ITB dan memilih jalan penulis, tidak ada rasa menyesal.

Semua itu adalah pilihan hidupnya dan sosok itu sangat bersyukur dengan perjalanan hidup yang dipilihnya. Alhamdulillah. Pun saat dia bekerja. Mulai dari freelance, ngantor, freelance, dan ngantor lagi. Ngantor pun pindah-pindah tempat. Menyesal? Ada, tapi sedikit. Selebihnya dia merasa bersyukur dengan jalan hidup yang dipilihnya. Selalu ada pelajaran pada semua titik kehidupan.

Akan tetapi, semua perjalanan hidup itu makin mengerucut tentang hakikat hidup manusia di muka bumi ini. Buat apa? Mengapa kita dilahirkan? Mengapa kita diberi kesempatan untuk menjadi orang tua dan menjadi pemimpin di kelompok tertentu? Mengapa kita ditakdirkan bertemu dengan banyak orang? Mengapa kita saat ini berada di posisi seperti sekarang?

Anak-anaknya juga begitu. Disekolahkan di taman kanak-kanak atau PAUD meski sosok itu tidak pernah mencicipi TK. Lanjut ke SD Negeri favorit yang jalurnya begitu dimudahkan. Lalu membebaskan anaknya untuk memilih di SMP mana. Kakak Bin memilih lanjut ke pesantren, tapi bingung yang mana. Dipilihlah lima pesantren, dan tes di tiga pesantren.

Lulus semua, hingga kemudian ia memilih pesantren di Singaparna. Begitu pula dengan Adik Anin yang awalnya tidak mau ke pesantren. Tanpa angin tanpa hujan, setelah ujian SD mantap memilih pesantren mengikuti jejak kakaknya. Padahal baik sosok itu maupun sang belahan jiwa tidak memiliki pengalaman nyantri. Hanya mengadu kepada Allah bahwa itu adalah jalan terbaik bagi mereka.

Alhamdulillah jalan mereka di pesantren baik-baik saja. Mulus-mulus saja, meski selalu ada drama kangen, menangis, dan lain sebagainya, tetapi tidak terlalu dipermasalahkan. Apakah ada pem-bully-an di pesantren? Ada. Sama seperti yang dialami sosok itu saat masih di SMP Negeri atau di SMA Negeri. Di tingkat kuliah pun ada. Bentuknya bisa bermacam-macam.

Bisa jadi kehidupan perundungan sosok itu semasa sekolah dan kuliah lebih parah dibanding anak-anaknya, tetapi semua itu menjadi pembelajaran agar anak-anaknya jangan sampai menerimanya. Akan tetapi ya jangan terlalu dimanja pula sehingga apa-apa dilarang. Tidak. Selalu ada fungsi gas dan remnya. Anak-anak diberi kepercayaan untuk tumbuh mandiri dan dewasa.

Jalan terbaik adalah adanya komunikasi. Komunikasi yang berujung pada keterbukaan di antara semua anggota keluarga. Pandangan anak-anak dan pandangan orang tua didiskusikan untuk kemudian dicari jalan keluarnya. Bisa jadi pandangan anak-anak itu benar, bisa jadi sebaliknya. Tidak ada yang merasa benar. Anak-anak butuh bimbingan dan orang tua butuh mendengar.

Pada saat di luar jangkauan, sosok itu dan sang belahan jiwa hanya berdoa dan menyerahkan semuanya kepada Allah Swt. karena Dia-lah Sang Maha Penjaga. Pesantren bukan tempat buang anak agar nanti bisa menjadi anak baik-baik. Bukan. Pesantren sama dengan sekolah-sekolah lainnya, dengan metode pengajaran yang sudah disesuaikan. Ada kelebihan dan pastinya ada kekurangan.

Toh bukan jaminan bahwa meskipun anak-anak berada di rumah setiap hari, membuat mereka menjadi lebih dekat dengan kedua orang tuanya. Bukan jaminan, selama tidak ada komunikasi yang terbuka. Apalagi di zaman teknologi yang supercanggih ini. Masing-masing lingkungan ada kelebihan dan kekurangannya. Tinggal bagaimana kita mengatasinya, dengan baik-baik.

Pada saat jam istirahat tadi, sosok itu berdiskusi dengan teman kerjanya tentang pengalaman hidup bekerja di berbagai tempat. Dia hanya berkata, "Rezeki itu bukan hanya harta, tetapi juga iman. Alhamdulillah saya pernah bekerja di Syaamil dan selama itu selalu terjaga ibadahnya. Selalu terjaga shalat dhuhanya, terjaga tilawahnya, dan terjaga jamaah shalat Zuhur dan Asharnya."

Dia membuang napas, "Pada hari Sabtu atau Minggu belum tentu ibadah-ibadah itu terjaga." Pikirannya membumbung ke atas awan. "Saya sangat bersyukur dengan semua nikmat itu, sangat bersyukur mendapatkan lingkungan dan kawan-kawan yang soleh. Saya di Syaamil itu bukan bekerja, tetapi lagi ngaji." Teman kerjanya mengangguk, "Iya, saya pun bersyukur masih bisa belanja ke Borma."

Kehebatan seseorang bisa jadi bukan karena kemampuannya sendiri. Akan tetapi memang sudah diizinkan oleh Allah Swt. Bisa jadi juga atas doa-doa kedua orangtuanya yang dikabulkan atau doa-doa yang terus dikumandangkan oleh pasangan hidupnya. Pada saat kita bekerja, siapa yang bisa menjamin pergaulan dan keselamatan anak-anak kita? Siapa?

Entah mereka di pesantren atau di sekolah umum, tidak ada yang bisa menjamin. Maka berdoalah, "Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari semua setan, binatang yang berbisa, dan penyakit ‘Ain yang dengki (menyakitkan)." Itulah doa yang diajarkan Rasulullah saw. saat mendoakan kedua cucunya dan juga doa Nabi Ibrahim untuk kedua putranya.

Wallahu a'lam bishawab.

Post a Comment

0 Comments