
Bulan Juli adalah bulan ketujuh dalam kalender Masehi dan konon katanya dinamai dari Julius Caesar, salah seorang pemimpin terkenal dari Romawi. Di belahan Bumi Utara, Juli adalah bulan musim panas, sedangkan di belahan Bumi Selatan, Juli adalah bulan musim dingin. Bulan Juli bagi ITB Press adalah bulan dimana omzet mulai mengalami kenaikan yang signifikan.
Namun bagi sosok itu, bulan Juli 2025 ini adalah bulan kehilangan. Kehilangan yang amat sangat karena dua orang yang begitu dekat dengannya pergi untuk selama-lamanya. Dua orang yang menemani masa kecil dan masa remajanya selama di Jakarta. Yang pertama adalah Hendarto Wahyu Sasongko (sepupunya) dan yang kedua adalah Ibu Rini Sudjiatiningsih (buleknya).
Mas Hen adalah anak dari Bulek Anik (adik ibunya) yang usianya tidak terpaut jauh, setahun lebih tua. Ia adalah teman masa kecilnya dan teman masa remajanya. Saat Mas Hen duduk di kelas 3 SMA, sosok itu duduk di kelas 2 SMA. Kurang dari setahun, dia tinggal di rumah Mas Hen di Muara Karang, satu kamar. Berangkat sekolah bersama-sama karena kebetulan satu jurusan.
Mas Hen bersekolah di SMAN 40 Jakarta sedangkan dirinya bersekolah di SMAN 15 Jakarta. Mereka berdua berjalan kaki dari rumah ke Jl. Muara Karang Raya untuk naik Kopami P02. Bus 3/4 ini akan membawanya ke arah Pasar Senen, tetapi mereka turun di jembatan Mangga Dua - Gn. Sahari untuk lanjut naik Kopaja U27. Mas Hen turun duluan di Pademangan sedangkan sosok itu turun di Jembatan Item.
Dari Mas Hen-lah dia mengenal musik Pearl Jam karena kaset album Ten ada di kamarnya. Di kamar itu pula dirinya menyelesaikan karya tulisnya dengan mengandalkan mesin tik yang dimilikinya. Masa kecil mereka berdua juga terekam saat Mas Hen masih tinggal di Warakas, di atas tempat tidur bertingkat begitu asyik mendengarkan kaset lawak Jayakarta Grup.
Mereka berdua, sering diasuh oleh Bulek Rini Sudjiatiningsih alias Bulek Jiti semasa beliau masih gadis. Ya, ini karena Bulek Jiti dibawa oleh almarhumah Ibu ke Tg. Priok dan tinggal bersama. Tidak heran kalau di kemudian hari, Bulek Jiti begitu senang kalau dirinya main ke Mlilir Ponorogo, tempat tinggalnya. Begitu pula saat Paklek Mat (suami Bulek Jiti) meninggal dunia saat covid.

Oleh karena itulah dirinya langsung mematung saat mendengar bahwa Mas Hen meninggal dunia pada hari Rabu sore (16/7). Setelah menjemput Adik di Poltekkes Bandung Gunung Batu dan hujan-hujanan di Jl. Soekarno Hatta dekat Terminal Leuwipanjang, dia langsung mempersiapkan diri di rumah untuk berangkat ke Tangerang. Alhamdulillah dia mendapatkan tiket KA Serayu pada pukul 00.14.
Bermodalkan tolak angin, tengah malam itu dia berangkat sendirian dari St. Kiaracondong. Pukul 03.45 sampai di St. Bekasi langsung persiapan shalat Subuh. Setelahnya, naik KRL yang melewati St. Duri. Di perjalanan ternyata ada kabar bahwa lebih baik langsung ke rumah Mas Hen di Pamulang. Dia pun turun di St. Tanah Abang dan lanjut naik KRL ke Rangkas Bitung.
Turun di St. Sudimara sekira pukul 06.00, lanjut ngojek ke rumah duka. Di sana, dia bertemu dengan Mbak Rani (istri Mas Hen) dan beberapa kerabatnya seperi Asep, Yanti, Panji, dan anak-anak mereka. Ngobrol sebentar lalu tanpa sadar dia tertidur. Saat bangun, sudah ada Paklek Marmin dan Bulek Anik (kedua orangtua Mas Hen), termasuk Mbak Eny, Nisa, Kendro, Ari, dan Arum.
Tidak lama, datang juga saudara dari Purwakarta termasuk Yoyok dan Alfi. Mereka berdua adalah anak Bulek Jiti yang hijrah ke Purwakarta dan Jakarta. Pukul 11.30 berziarah ke makam Mas Hen di TPBU Seroja karena sudah dimakamkan semalam. Meski ingin berlama-lama, sosok itu tidak bisa sehingga pamit duluan bersama Mbak Eny dan Nisa untuk naik KRL bersama kedua cucunya.
Sampai di St. Bekasi pukul 15.00 sekalian berpisah dengan kakak, keponakan, dan cucunya yang lanjut ke Cileungsi. Sosok itu sendiri berusaha mendapatkan tiket goshow yang ke Bandung tapi gagal. Pada akhirnya dia berjalan kaki ke Terminal Bekasi untuk naik bus yang menuju Garut. Pukul 17 bus berangkat dan alhamdulillah dia sampai ke rumah pukul 20.30 setelah turun di Tol Buah Batu.

Bandung-Tangerang-Bandung-Madiun
Jumat malam (25/7), seminggu setelahnya, dia mendapatkan kabar duka kembali. Bulek Jiti wafat di hari yang baik setelah bertahun-tahun sakit, sehingga mengharuskannya untuk mencari tiket kereta ke Madiun hingga tengah malam. Alhamdulillah dapat untuk berangkat maupun pulangnya. Berangkatnya dia akan naik KA Mutiara Selatan di hari Sabtu malam dan pulangnya naik KA Malabar di Senin pagi.
Setelah mengambil cuti terpaksa saat ziarah ke makam Mas Hen, dia pun harus cuti lagi untuk ziarah ke makam Bulek Jiti. Alhamdulillah beliau langsung dimakamkan malam itu juga karena budayanya seperti itu. Masyarakatnya begitu kompak, jadi meski dimakamkan pada pukul dua dini hari tetap ramai. Mas Hen dan Bulek Jiti adalah orang baik yang kebaikannya menular pada orang sekitar.
Sabtu pagi sosok itu langsung belanja oleh-oleh untuk keluarga besarnya di Madiun dan Mlilir. Menjelang siang dia memperbaiki sepeda lipatnya untuk dibawa serta, dan malamnya dia berangkat serta mencoba menikmati perjalanan 8,5 jam itu dengan ngeteh di gerbong reska, ngobrol dengan teman sebangku, dan tidur. Dia sampai di St. Madiun tepat saat azan Subuh berkumandang.

Selepas shalat, dia merangkai sepeda lipatnya lalu ngaboseh di kegelapan pagi menyusuri Jl. Bali yang sepi dan dingin. Dia bersyukur bahwa kedatangannya disambut keterkejutan Mbak Uni (kakak iparnya) yang baru pulang dari pasar, lalu bertemu Mas Edi (kakak pertamanya), Ayu (keponakannya), dan kedua cucunya yang sudah SMP dan SD.
Pagi itu, dia sempat menemani Mas Edi untuk jalan sehat di Lapangan Gulun Kejuron, cukuplah 3 km. Lanjut makan nasi pecel Godong Jati Bu Wik dengan ciri khas memakai alas daun jati dan anyaman bambu sebagai piring. Sempat mampir ke RS Dr. Soedono nengok kakak Mbak Uni yang sedang sakit, serta ziarah ke makam Ibu, Mbah Ti, Mbah Kung, Pakdhe Imam, dan Budhe Ainun.

Mampir juga ke rumah alm. Pakdhe Imam yang saat ini ditempati oleh Lia dan Nanang sebagai ajang kangen-kangenan. Makan siang dulu dengan menu nasi rawon di Pasar Gedhe, dan akhirnya menuju Mlilir untuk menemui Yoyok, Deni, Tyas, dan Elok di rumah Bulek Jiti. Kemudian ke Makam Dukuh Tenggang untuk ziarah ke makam Bulek Jiti dan Paklek Mat.
"Ya Allah, ampunilah, rahmatilah, selamatkanlah, dan maafkanlah keluarganya yang sudah tiada. Muliakan tempat tinggalnya, lapangkan kuburnya, mandikan mereka dengan air, salju, dan embun. Bersihkan mereka dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan pakaian putih dari noda. Berilah rumah yang lebih baik dari rumahnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya, dan masukkan mereka ke dalam surga. Lindungilah mereka dari siksa kubur dan siksa neraka."
Malam harinya sosok itu masih sempat makan mie goreng bersama Mas Edi dan Mbak Uni. Obrolan terus mengalir sepanjang hari itu sampai keesokan harinya dia harus pamit setelah sarapan nasi pecel. Mas Edi pun mengantarnya menggunakan sepeda untuk keliling kota Madiun terlebih dahulu. Nasi Jotos, yang kurang lebih sama dengan nasi kucing Jogja tetapi dengan porsi lebih besar, jadi bekalnya.

Senin, 28 Juli 2025, dia kembali lagi pulang ke Bandung dengan KA Malabar. Siang selepas Zuhur, dia menyepi di gerbong restoka, menyeruput teh hangat di tengah perjalanan yang panjang. Tubuhnya sudah pasti lelah, tetapi silaturahmi dalam perjalanan (mengingat) kematian ini begitu bermakna. Entah kapan sosok itu akan menyusul mereka semua, pulang ke alam kubur untuk selanjutnya ke alam akhirat.[]
0 Comments