Mika Ganobal, Sang Penggerak Rakyat Aru


"Saya pernah berdiri di tepi pantai pada tengah malam. Saya lihat ada banyak cahaya di tengah laut. Saya tahu kalau itu adalah sekelompok kapal-kapal besar Cina yang sedang mencuri ikan. Mereka mencuri ikan di perairan di timur Indonesia hampir setiap saat. Paginya, mereka sudah menghilang."

Cerita itulah yang masih terekam dengan baik oleh sosok itu tentang Mika Ganobal. Dia mendengarkan cerita Mika saat berdiskusi di sebuah kamar hotel di Ambon, tiga tahun yang lalu. Sikapnya begitu tenang. Bagi yang baru mengenalnya, mungkin menganggap Mika adalah orang yang pendiam. Tetapi ternyata tidak.

Mika mampu menggerakkan rakyat di Aru untuk melawan rencana pembangunan perkebunan tebu terbesar di dunia. Proyek tersebut hendak menghancurkan dua pertiga hutan di kepulauan yang menyimpan harta karun berupa kekayaan dan keunikan keanekaragaman hayati di Indonesia.

Mika adalah seorang pegawai negeri sipil (PNS) yang menjadi koordinator utama para pengunjuk rasa di Dobo, ibukota Kabupaten Kepulauan Aru. Banyak PNS enggan terlibat dalam perlawanan proyek perusahaan karena takut dipecat. Ia berbeda, meski harus bekerja sebagai PNS di desa pesisir di Kecamatan Aru Tengah.

Biasanya, Mika menggunakan perahu ke tempat kerja dari rumahnya di Dobo. Ia punya karisma yang mampu menyemangati para demonstran ketika sudah ada di atas pikap truk dengan pengeras suara di tangan. Kala masih ada sejumlah masyarakat Aru bimbang dengan proyek perkebunan, ia yakin, bahwa itu hanya akan jadi malapetaka.

Sebagai lulusan sebuah universitas di Ambon, Mika memahami bagaimana situasi di kawasan pedesaan lain yang telah jadi korban perusahaan-perusahaan besar dimana keuntungan hanya mengalir pada para pemodal dan pejabat. Sebagian besar masyarakat, cuma berakhir menjadi buruh miskin.

“Kami tidak bisa membiarkan itu terjadi di Aru,” katanya.


Secara biologis, Aru layaknya sebuah dunia yang terpisah dari Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Tidak ada jejak harimau, primata, dan gajah yang dahulu berevolusi di pulau-pulau besar ini. Saat ini, Kepulauan Aru adalah rumah bagi kanguru yang hidup di pohon dan burung kasuari yang tak dapat terbang.

Alfred Russel Wallace, seorang naturalis asal Inggris pada era kolonial menganggap bahwa Kepulauan Aru adalah tempat yang paling indah dan kawasan yang paling membuatnya terpesona. Dobo saat itu adalah kota pelabuhan yang begitu ramai. Mutiara, kulit penyu, sirip hiu, sarang burung walet, teripang, untaian bulu-bulu halus dari berbagai cendrawasih begitu banyak dicari.

Mika tidak sendirian. Bersamanya, sudah ada Collin Leppuy, mahasiswa Universitas Kristen Indonesia Maluku yang pada Agustus 2013 bertamu ke rumah Pendeta Jacky Manuputty di Ambon, Maluku. Dari situlah, kemudian sang pendeta menggerakkan kelompok muda di Ambon untuk terlibat dalam kegiatan puisi, sastra, fotografi, dan seni tari.

“Kalau kita hanya bicara dengan pendekatan agama, itu tidak menarik. Karena orang masih sensitif dan trauma terkait dengan peran agama di dalam konflik,” katanya. “Kita bicara dengan bahasa yang lain, kita memakai media dan medium yang lain.”

Sang pendeta juga menggaet pemuda berpengaruh seperti Habib Almaskaty yang membangun komunitas blogger lokal. Sosok itu sendiri sudah mengenal Almas di dunia online hingga kemudian bisa kopdar di Ambon pada 2017. Selain Almas juga ada Weslly Johannes (Bengkel Sastra Maluku) dan Pierre Ajawaila (pendiri situs Malukupedia).

Beberapa sosok pemuda yang tidak bisa dilupakan kiprahnya adalah Revelino Barry (Molukka Hip-hop Community), Linda Holle (Komnas HAM Maluku), dan Djuliyati Toisuta (Maluku Baronda). Mereka semua menjadi tulang punggung kampanye online yang bertugas memperluas kerja-kerja para aktivis di Aru.

Informasi disampaikan secara berantai dan terkoordinir, karena kondisi di Aru yang sulit jaringan telepon dan internet. Dari kampung-kampung di pedalaman Aru, pesan disampaikan dengan surat yang dibawa ke Dobo menggunakan perahu. Dari Dobo, ada yang mengirimkan pesan SMS ke Ambon.

Jika perlu pembicaraan lewat telepon, mereka yang di Dobo dapat melakukan missed call (panggilan tak terjawab) dengan tim di Ambon yang lantas akan menelepon balik ke mereka. Dengan begitu, mereka yang di Dobo tidak harus terbebani dengan biaya pulsa. Itu yang terbaik. “Kami membangun rantai informasi,” ucap Almas.


Dan memang, banyak masyarakat Aru, terutama yang tinggal di pedalaman, masih belum tahu apa-apa mengenai proyek perkebunan tebu raksasa. Di sisi lain, perusahaan yang diwakili oleh tim survei lapangan, mempromosikan bahwa proyek tersebut akan mengubah kehidupan mereka jadi lebih baik.

“Janji-janji mereka terlalu muluk,” kata Mika yang tidak percaya. “Mereka menjanjikan membangun fasilitas seperti sekolah, sarana-sarana kesehatan, dan rumah-rumah ibadah. Kami sudah belajar dari pengalaman bahwa di balik janji itu, ada neraka yang tersembunyi. Karena hutan kami tidak akan kembali lagi, ketika digunduli.”

Mika memahami, masyarakat Aru memiliki hak untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kalau mereka mendapatkan informasi berupa fakta-fakta, kemungkinan besar mereka turut mendukung perjuangan. Itulah mengapa mereka rela menandatangani nama-nama mereka dengan darah di Dobo.

Lalu setelah itu, mereka berpencar ke seluruh pelosok pulau-pulau dan menyebarluaskan berita dengan caranya sendiri. Sejumlah kampung bahkan memerlukan waktu berhari-hari untuk bisa sampai ke sana. Bensin mahal dan ombak bisa kencang pada musim tertentu. Mereka tidak punya pilihan lain.

Masyarakat Aru harus tahu bahwa hutan berperan sebagai insulator termal atau penahan panas. Seandainya hutan di Aru hancur, maka Aru akan jadi tempat yang jauh lebih panas. Hutan itu seperti spons raksasa yang menyerap hujan dan menjaga ketersediaan air tanah. Tanpa hutan, Aru akan kering dan rentan terhadap bencana banjir. Tanpa hutan mangrove, maka sebagian besar kawasan pesisir akan sirna.

Perjuangan Mika tidaklah mudah. Ia pernah menerima kabar bahwa ada gerombolan orang yang hendak membakar rumahnya. Untunglah ada Ananias Djonler yang memiliki hubungan jabu (kekerabatan khusus) dengan orang yang mengirimkan gerombolan itu. Ananias menghabiskan sepanjang malam dengan Mika dan istrinya yang sedang hamil untuk berjaga-jaga.




Kalau kamu sudah menonton filmnya, kamu bisa bantu vote filmnya di https://www.menti.com/j8wpsgabb1 ya. Tujuannya, kalau film ini terpilih, akan lebih banyak orang di seluruh dunia yang menontonnya dan tentu ini bagus untuk kampanye #SaveAru

Kampanye yang diawali hanya oleh belasan mahasiswa, seorang pendeta, dan dua kata pada selembar poster (Save Aru) telah berkembang menjadi gerakan rakyat yang tangguh di daerah yang kerap dianggap terpencil dan miskin di bagian timur Indonesia. Gerakan Save Aru berhasil mengalahkan sebuah perusahaan kuat.

Namun perjuangan belum selesai. Masyarakat Aru harus memperkuat identitas dan memperkuat spirit. Masyarakat Aru masih berjuang untuk memperbaiki nasib mereka terkait dengan akses lebih baik terhadap ekonomi, infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

“Kita butuh sesuatu yang jauh lebih menjanjikan bagi kehidupan masyarakat Aru, dengan tidak merusak lingkungan,” kata Collin Leppuy. Sebagai bentuk perjuangannya, tidak heran jika anak keempat Mika diberi nama Leisava. 'Lei' artinya anak lelaki dan 'sava' artinya Save Aru.[]

Post a Comment

8 Comments

  1. Wah Saya baru tahu perjuangan Mika ini. Sedih juga membaca kalau nelayan asing mencuri ikan di wilayah perairan kita

    ReplyDelete
  2. Menarik. Tidak saya kira rakyat Maluku masih mau melawan keras penjajahan ekonomi rasa lokal yang ada di tempat ini. Sampai sekarang, apakah oligarki masih mau melakukan pembalakan hutan di Aru, Bang?

    ReplyDelete
  3. I always salute people who fight for their rights and stand up for it. We have to have more people like him to ensure that social justice is respected

    ReplyDelete
  4. Setiap Bang Aswi menceritakan lewat tulisan, flownya tuh ngena banget.

    Untuk saudara kita yang di pulau terluar ini emang mereka pejuang-pejuang yang tangguh. Semoga campaign #SaveAru ini bisa jadi titik terang buat masyarakat dinsana.

    ReplyDelete
  5. Kadang aku mikir, katanya kita sudah merdeka dari penjajahan tapi kalau dipikir lagi kadang itu nggak sepenuhnya benar. Masih ada penjajahan dalam bentuk lain ya bahkan kadang musuhnya dari bangsa kita sendiri. Sedih memang. Semangat terus Mika dan kawan-kawan seperjuangannya

    ReplyDelete
  6. Kisah para pejuang lingkungan hidup seperti Mika selalu mengharukan. Tantangan yang ia hadapi sangat kuat, terlalu kuat untuk dilawan. Tetapi perjuangan harus terus berjalan bukan. Semangat Mika. Save Aru!

    ReplyDelete
  7. Para penjaga alam yg heroik...Semoga selalu banyak yg membantu

    ReplyDelete
  8. cerita perjuangan yang sangat mengharukan, semoga dari kita juga bisa mengikuti jejak beliau :)

    ReplyDelete